Aristophanes dan Pertentangan Penerjemah Sastra

Aristophanes Penerjemah Sastra

Sejak komedi Aristophanes (dramawan Athena yang dianggap sebagai salah seorang penulis komedi terbesar dalam sejarah sastra) agak radikal dalam menyerang beberapa ideologi dan membela yang lain, kebanyakan penerjemah yang “Lysis trata “-nya telah diterbitkan dalam satu setengah abad terakhir merasa perlu untuk mengungkapkan ideologinya sendiri.
Sebagian besar penerjemah yang karya-karyanya terbit selama paruh pertama abad itu sepakat dengan pernyataan A. S. Way, “Ketidaksenonohan komedi Attica (nama kawasan Yunani Kuno) yang sangat tajam, yang muncul pada setiap lakon drama dan tempat-tempat yang paling tak terduga, merupakan batu sandungan yang menyedihkan bagi pembaca dan suatu kondisi yang memalukan dan menyedihkan bagi penerjemah”.

Perlawanan Sejumlah Penerjemah

Kendati kebanyakan penerjemah tersebut sungguh-sungguh menentang ideologi yang mentoleransi ketidaksenonohan ini, ada beberapa orang yang sejalan dengan penerjemah-penerjemah awal karya Aristophanes selama satu setengah abad terakhir. Dalam pengantarnya, C. A. Wheelwright menyatakan bahwa “Lysistrata memuat karakter yang begitu jahat sehingga ibarat orang yang tengah melewati bara panas, tak bisa lain kita harus menghindarinya”.
Dalam terjemahannya, Wheelwright benar benar menghilangkan inti dari drama tersebut: kata-kata umpatan yang ditujukan pada kaum wanita pada awal resmi pemogokan gender mereka. Lebih jauh lagi, ia benar-benar mengakhiri terjemahannya pada naskah aslinya dan menolak untuk menerjemahkan sebagian naskah yang merupakan seperempat bagian dari drama tersebut, bukan karena tiba-tiba lupa dengan semua bahasa Yunaninya, tetapi karena ideologinya bertentangan dengan ideologi yang diungkapkan dalam bahasa Yunani oleh Aristophanes itu.

Penerjemah Etis

Kebanyakan jasa penerjemah lainnya berusaha menyesuaikan Lysistrata dengan ideologi mereka lewat penggunaan berbagai macam teknik manipulasi. Semua strategi mereka digambarkan dengan cukup baik oleh Jack Lindsay dalam pengantar terjemahannya. Lindsay menyatakan, “Mereka selalu berusaha mengungkapkan bahwa bagian bagian yang dianggap menyinggung itu dikendalikan keadaan dari luar, bukan ungkapan si pujangga yang sebenarnya”. Maka, J. P. Maine dalam pengantarnya pada 1909 menyatakan bahwa “kini Athena berada di bawah pemerintahan oligarki dan tidak mungkin ada referensi politik [seperti itu], sehingga Aristophanes pun berusaha memperbaiki ketidaksenonohan [tersebut]”.
Dalam pengantarnya yang ditulis pada 1820 dan dicetak ulang pada 1909, volume kedua yang disunting oleh Maine, John Hook Ham Frere menyatakan bahwa, “Harus di ingat kembali bahwa Aristophanes kerap merasakan kebutuhan untuk memusatkan perhatiannya semata-mata terhadap kelas bawah”.


Baca Juga : Relasi Penerjemah Kontekstual dengan Kesetiaan Tekstual


Persepsi Para Penerjemah Sastra

Baik Maine maupun Hook ham Frere menyalahkan dukungan pelindung (patronage) untuk kegagalan Aristophanes itu, tetapi masing-masing menyalahkan jenis pelindung yang sama sekali berbeda.
Dua tahun kemudian, Benjamin Bickley Rogers menjelaskan bahwa, “Kekasaran ini sendiri, yang sangat memuakkan bagi kita dan begitu memikat bagi penonton Athena, sebenarnya dimasukkan dengan maksud untuk mengimbangi keseriusan dan kedalaman drama tersebut”. Dalam kasus ini, Aristophanes tidak digambarkan sebagai pengarang yang berdaulat penuh, tetapi sebagai seniman terhormat yang tidak punya pilihan selain tunduk pada tuntutan seninya. (Sebagian) pembaca pasti ingin merasa kan bahwa Aristophanes sebagai seorang pria tidak akan melakukan apa yang harus dilakukan Aristophanes sebagai seorang seniman.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *