Faktor Budaya

Kita mencium adanya perbedaan. Kita memperhatikan, dimana-mana segala sesuatu berlangsung dengan agak berbeda; suatu kata atau frasa diucapkan secara berbeda atau divariasi dengan cara yang agak mengejutkan; orang berjalan, berbusana, dan bersikap dengan cara berbeda. Barangkali di sinilah letak batas budaya yang perlu diseberangi. Mengapa kita ingin menyeberanginya? Karena batas itu ada. Karena itulah pekerjaan kita: menyeberangi perbatasan.

Faktor Intuisi

Mungkin, pada dasarnya ini hanyalah sebuah ilusi. Mungkin perbatasan budaya itu tak dapat diseberangi. Mungkin kita semua terkungkung di dalam kelompok kita, komunitas kita, bahkan kulit kita sendiri. Mungkin Anda harus menjadi seorang laki-laki untuk bisa memahami laki laki, dan harus menjadi seorang perempuan untuk bisa memahami perempuan; mungkin Anda harus mempunyai warna kulit yang terang agar dapat memahami orang yang berkulit terang, dan warna kulit gelap untuk memahami orang berkulit gelap. Mungkin tak ada warga negara maju yang mampu memahami warga negara dunia-ketiga, dan sebaliknya.

Semua negara maju “memahami” negara dunia-ketiga, pria “memahami” wanita, kelompok mayoritas “memahami” kelompok minoritas-semua ini mungkin hanyalah proyeksi kekuatan hegemoni belaka, bentuk terbaru dari kolonialisme. Mungkin tidak ada seorangpun yang pernah dapat memahami orang lain; mungkin pemahaman adalah ilusi yang sudah diperhitungkan dan dikawal oleh kekuatan superior.

Faktor Pengalaman

Sebagai penerjemah yang berpengalaman sekaligus mengelola lemabaga jasa penerjemah, masih saja penulis senantiasa berupaya memahami dan menjembatani jurang komunikasi di antara individu dan kelompok. Itulah pekerjaan penerjemah.

Dan kita melakukannya khususnya dengan melibatkan diri kita dalam keanekaragaman budaya, dengan cara masyarakat lain berbicara dan berperilaku. Kita melakukan nya dengan keyakinan bahwa memperhatikan dengan cermat cara orang menggunakan bahasa dan berperilaku di dalam ruang dan waktu akan memberi kita pengetahuan berharga mengenai “sisi lain”-siapapun dan apapun yang terletak di luar batas budaya apapun yang kita temui, rasakan, atau bayangkan di hadapan kita. Dengan suatu cara tertentu, kepercayaan, nilai, gagasan, citra, dan pengalaman akan melintasi batas-batas tersebut dari be nak dan raga mereka, memasuki benak dan raga kita lewat bahasa, ekspresi, sikap, dan penyebaran respons somatis. (Orang yang tertawa membuat kita gembira, orang yang menangis membuat kita sedih, orang yang menguap membuat kita mengantuk, dan orang yang ketakutan atau cemas membangkitkan ketakutan dan kegelisahan kita; lihat Robinson 1991: 5 dst.).

Faktor Akademik

Tentu saja semua gejala budaya memberikan pengaruh kuat terhadap penulisan naskah dan kemudian berpengaruh juga pada proses penerjemahan. Seperti yang penulis pernah alami, ketika menerjemahkan dokumen dari Universitas Ternama di Depok terdapat sebuah kata bahasa Inggris “clay” yang diartikan “tanah liat”. Berikutnya ada salah satu universitas terkemuka di Yogyakarta, tidak berkenan kata “clay” diartikan “tanah liat” mereka bersikukuh agar kata “clay” diartikan dengan “tanah lempung”. Penulis sendiri mencoba menggali beberapa kebiasaan penggunaan istilah “tanah liat” dan “tanah lempung” di dua kota besar yaitu Yogyakarta dan Jakarta.

Pada akhirnya penulis faham dengan kata “tanah liat” dan “tanah lempung” dan koskwensinya, Itulah mengapa dua kampus terkemuka di Indonesia berbeda dalam menggunakan kata “tanah lempung” dan “tanah liat”.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *