Komunikasi antarbudaya

(intercultural communication ICC) merupakan sebuah bidang studi di bawah bidang
komunikasi. Studi penerjemahan boleh saja dianggap sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari bidang tersebut, atau bahwa kedua bidang tersebut-studi penerjemahan dan komunikasi ICC-memiliki hubungan yang erat.

Sayangnya, tak satupun dari kedua anggapan itu yang benar. Para ilmuwan ICC memang mempelajari masalah masalah komunikasi lintas-batas budaya, baik secara intra -maupun interlingual, namun agaknya penerjemahan tidak dianggap sebagai bentuk komunikasi lintas-budaya yang bermasalah, barangkali karena penerjemah profesional telah mengetahui bagaimana cara menyesuaikan diri dengan kebudayaan asing (Untuk pengecualian awal terhadap kaidah ini, lihat Sechrest et al. 1972 dan Brislin 1972).

Forum Penerjemah

Contohnya, para ilmuwan ICC mencurahkan perhatiannya untuk merunut langkah-langkah yang ditempuh anggota suatu kebudayaan untuk menyesuaikan diri atau diterima dalam kebudayaan lain: menolak (mengasingkan, memisahkan) > mempertahankan (menjelek-jelekkan, merasa lebih baik dari orang lain, memutar balikkan) > meremehkan (universalisme fisik, universalisme transenden) > menerima (menghormati perbedaan perilaku, menghormati perbedaan nilai) >menyesuaikan (empati, pluralisme) > integrasi (evaluasi kontekstual, kemarjinalan konstruktif).
(Bennett 1993: 29)
Ketiga tahap pertama (menolak, mempertahankan, dan meremehkan) dinamakan Bennett sebagai “etnosentris (ethnocentric)” dan tiga tahap kedua (menerima, menye suaikan, dan integrasi) sebagai “etno relatif (ethnorela tive)”. (Lihat juga Padilla 1980, Hoopes 1981, Gudykunst dan Kim 1992: 214-15.)

Komunitas Profesi Penerjemah

Mungkin ada baiknya bila model-model ini diperluas untuk menyertakan penerjemahan lisan (interpretation) dan penerjemahan tulis (translation). Kendati merupakan bentuk komunikasi lintas-budaya yang tentunya kurang traumatis dan menakutkan bila dibandingkan dengan seorang ekabahasa (monolingual) yang baru pertama kali bepergian ke luar negeri atau berjumpa dengan seseorang dari sub kebudayaan (subculture) yang amat berbeda misalnya, penerjemahan lisan dan penerjemahan tulis tak kalah problematis. Contohnya:

  1. Etnosentrisme: tidak mau melakukan komunikasi lintas batas budaya; penolakan terhadap orang dari lain
    negara atau orang asing; menyamaratakan kebiasaan dan asumsi lokalnya sendiri (ini merupakan anti-ideal yang tujuan pengembangan ICC adalah untuk memeranginya).
  2. Toleransi lintas-budaya: para penutur satu bahasa berkomunikasi dengan orang asing yang berbicara dalam bahasa mereka; anggota subkebudayaan lain di bawah satu kebudayaan nasional yang menjalin hubungan, menemukan perbedaan, dan belajar menghargai dan menerimanya; masalah-masalah dalam mempelajari bahasa asing (perbedaan budaya yang tidak diperhatikan, ciri-ciri prosodi dan paralinguistik) dan meningkatnya toleransi terhadap relativisme budaya dan bahasa (bidang utama perhatian ICC).
  3. Integrasi: kelancaran berekspresi dalam bahasa dan budaya asing; kemampuan untuk menyesuaikan diri, diterima, dan merasa nyaman dalam suatu lingkungan budaya asing, menuturkan bahasanya dengan lancar, bertindak dan merasa (relatif) seperti layaknya pemilik asli kebudayaan tersebut (inilah ideal ICC).
  4. Penerjemahan tulis/lisan: kemampuan untuk menjadi penengah di antara kebudayaan dan menjelaskan satu kebudayaan kepada kebudayaan yang lain; memiliki loyalitas terhadap multibudaya; menarik dan mendorong kebudayaan sumber dan kebudayaan sasaran.
    Tujuan ICC ialah membantu orang-orang dari satu kebudayaan (monoculture) agar mampu menyesuaikan diri dengan lebih baik dalam situasi antarbudaya. Studi
    penerjemahan tulis/lisan dimulai dalam suasana integrasi yang sudah mengalir, tatkala ICC tak lagi dipergunakan. Tujuan akhir ICC adalah menetapkan aturan baku pelatihan penerjemah/juru bahasa.

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *