Pragmatisme Penerjemah
Salah satu tuntutan dari atasan atau agensi jasa penerjemah adalah kita harus bekerja cepat dan akurat, tidak boleh lambat apalagi sampai membahayakan reputasi agensi dimana kita bekerja. Pemikiran pragmatis para penerjemah dalam persoalan ini diantaranya adalah apakah pendapatannya pantas, apakah pengguna jasanya puas, apakah pekerjaannya akurat, apakah etis, apakah beradab, apakah bermoral.
Diluar pertanyaan pragmatis tersebut ada kegelisahan lain apakah “komunitas profesional” tersebut memang benar-benar menghendaki penerjemah agar peka terhadap isu penggunaan yang mendiskriminasi, pernyataan yang mengungkapkan kebencian, dan seterusnya atau sebaliknya, komunitas profesional yang mana, atau bagian mana dari komunitas profesional tersebut yang menghendaki hal itu. Apakah dari kalangan pengguna jasa saja? Seberapa besar kepekaan yang dibutuhkan? Sebanyak apa perubahannya? Seberapa besar keragu-raguan dan kurang percaya dirinya? Tidak ada jawaban yang mudah.
Idealisme Penerjemah
Dalam hal ini, juga hal-hal lain, penerjemah tersumpah wajib bersedia meneruskan langkah kendati tidak ada petunjuk yang jelas, bekerja dengan etis dan bertanggung jawab seperti yang diketahuinya, tetapi tidak pernah benar-benar mengetahui letak batas-batas tindakan yang etis dan bertanggung jawab itu.
Hal penting yang harus diingat adalah kita benar-benar harus jalan terus. Dengan terlatih untuk senantiasa menjadi lebih pencuriga, bahkan terhadap pemahaman “instan” dan “intuitif” kita pada teks yang harus diterjemahkan, kita bertekad untuk terus mempercayai dan menerapkan kemampuan kita yang akhirnya membawa pada penafsiran yang benar. Walaupun berulang kali ikhtiar kita untuk menemukan padanan dalam bahasa-sasaran terhambat karena batasan-budaya sehingga ada kata dan frasa yang tampaknya tak bisa diterjemahkan, kita tetap mengadakan telaah batin lewat jalur saraf kita sendiri dan Internet, sambil berharap kesulitan itu dapat terlewati dan menemukan terjemahan yang sempurna.
Aktualisasi Penerjemah
Hal ini nyaris tidak pernah terjadi. Apa yang kita dapatkan hampir selalu jauh dari yang terbaik, tetapi kita tetap saja terus mencari. Barangkali inilah sifat kita yang paling tidak masuk akal, sekaligus yang paling profesional.
Dan tak peduli apalagi yang kita lakukan, kita senantiasa melibatkan diri kita secara total dalam budaya. Budaya lokal, budaya daerah, budaya nasional, budaya internasional. Budaya asing. Budaya daerah pinggiran. Budaya sekolah, budaya kerja, budaya bersenang-senang; budaya keluarga, budaya hidup bertetangga. Kita tidak pernah puas membaca. Kita belajar bahasa asing yang baru dan menghabiskan berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun di negara-negara tempat bahasa tersebut dituturkan sebagai bahasa asli.
Pada akhirnya kita akan mengatakan bahwa berpikir pragmatis itu perlu, berpikir idealis itu juga perlu dan berpikir untuk diri sendiri juga perlu, semuanya harus diberikan porsinya akan tetapi semuanya harus berjalan secara seimbang.
0 Komentar