Perdebatan Terjemahan Deskriptif dan Teoritis

Catatan dari tim vid-translations jasa penerjemah tersumpah. Pada akhir 1980-an dan 1990-an, beberapa kecenderungan baru dalam teori penerjemahan yang berorientasi secara budaya telah mengalami perkembangan, dan sampai taraf tertentu, telah menggantikan studi penerjemahan deskriptif. Pendekatan aliran feminis dan pasca kolonial terhadap penerjemahan khususnya berdampak besar pada bidang ini. Banyak inovasi telah mereka hasilkan, tetapi secara metodologi, ada dua perbedaan utama antara inovasi-inovasi itu dengan studi penerjemahan deskriptif.

Sementara kaum deskriptivis (pengikut linguistik deskriptif) bersikap netral, tidak memihak, dan berusaha keras mencapai objektivitas ilmiah, para feminis dan pasca kolonial secara politik mencurahkan segenap daya untuk menggulingkan patriarki, kolonialisme, kapitalisme, dan bertekad untuk berperan sebagai aktivis dalam proses tersebut. Hasilnya, gaya penulisan mereka lebih “terlibat secara emosi” (jika dilihat dari dalam) atau “benar secara politik” (jika dilihat dari luar).
Bahkan, dibandingkan dengan kaum deskriptivis, mereka juga lebih toleran terhadap terjemahan propagandistis dan bentuk terjemahan lain yang banyak digugat. Mereka selalu bersimpati pada kebudayaan minoritas yang tertindas.

Kritikan Ajaran Penerjemahan Deskriptif

Para feminis dan pasca kolonialis juga melontarkan kritikan tajam terhadap pemikiran kaum deskriptif yang menyatakan bahwa penerjemahan selalu dikendalikan kebudayaan sasaran. Gagasan ini terasa aneh, terutama dalam perspektif seorang pascakolonialis. Sejarah kolonialisme penuh dengan kasus-kasus tatkala kebudayaan-sumber kerajaan seperti Inggris, Prancis atau Spanyol memprakarsai dan mengendalikan proses penerjemahan Alkitab dan teks sumber lainnya ke dalam bahasa sasaran koloni-koloni “setempat” yang “primitif”.

Hal ini biasanya melibatkan pengiriman misionaris dari kebudayaan sumber ke kebudayaan sasaran untuk mempelajari bahasa sasaran (yang seringkali diartikan sebagai membentuk kembali bahasa sasaran agar sesuai dengan norma-norma linguistik bahasa sumber-lihat Rafael 1988/1993, Cheyfitz 1991, Niranjana 1992), mencari ortografi untuk bahasa sasaran, dan menerjemahkan Alkitab, katekismus, dan undang-undang kekaisaran ke dalam bahasa tersebut.

Kaidah Terjemahan Mendominasi

Rafael dan rekan-rekannya juga menunjukkan bagaimana kebudayaan sasaran koloni-koloni tersebut menentang penguasaan ini dengan berbagai cara; tetapi kontrol utama terhadap proses penerjemahan jelas berada di tangan penguasa kebudayaan sumber, bukan kebudayaan sasaran. Pengantar yang paling ringkas dan mudah dipahami untuk studi penerjemahan pascakolonial diberikan oleh Richard Jacquemond (1992; lihat juga Robinson 1997a).

Secara khusus Jacquemonde berpusat pada penerjemahan antara bahasa Prancis dan Mesir, tetapi secara umum ia juga tertarik dengan perbedaan kekuasaan di antara kebudayaan, khususnya di antara kebudayaan “hegemoni”, dominan, atau yang lebih kuat (biasanya mantan penjajah) dan kebudayaan yang “didominasi” atau kurang kuat (biasanya bekas daerah jajahan).

Perbedaan Pandangan

Jacquemond menyatakan, penerjemah dari kebudayaan hegemoni ke kebudayaan yang didominasi, melayani kehendak kebudayaan hegemoni untuk memasukkan hasil kebudayaannya pada kebudayaan yang didominasi – ini termasuk kasus klasik ketika kebudayaan sumber memegang kendali atas penerjemahan.

Bahkan, jika kebudayaan sasaran menghendaki, atau kelihatan menghendaki penerjemahan, kehendak itu dibuat dan dikontrol oleh kebudayaan sumber. Sebaliknya, penerjemah dari kebudayaan yang didominasi ke kebudayaan hegemoni juga melayani kebudayaan hegemoni, tetapi kali ini tidak dengan bersikap merendahkan diri, melainkan sebagai “mediator otoritatif” (Jacquemond 1992: 156) yang membantu mengubah kebudayaan yang didominasi menjadi sesuatu yang bagi kebudayaan hegemoni mudah dikenali sebagai sesuatu yang “lain” dan lebih rendah mutunya.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *