Relasi Penerjemah Kontekstual dengan Kesetiaan Tekstual: Sebagian dari Kita belum memahami betul mengenai makna dari Tekstual dan Kontekstual, padahal keduanya mempunyai arti yang jauh berbeda. Pada artikel ini akan dijelaskan mengenai makna serta relasi antara Penerjemah Teksual dan Penerjemah Kontekstual.
Penerjemah Tekstual
Barangkali penentuan persepsi seksual penerjemahan tampak paling lazim pada ungkapan les belles infidéles. Pepatah mengatakan, penerjemahan ibarat wanita yang cantik atau setia. Pepatah tadi mungkin tercipta dari sajak berbahasa Prancis maupun fakta bahwa kata traduction (bahasa Prancis, artinya penerjemahan) merupakan kata berjenis feminine (digunakan untuk wanita), sehingga tidak mungkin ada ungkapan les beaux infidéles. Ungkapan ini memperlihatkan usianya yang sudah tua itu -diciptakan pada abad ke 17-tak lebih dari kesamaan fonetis: yang mengesankan adanya kebenaran adalah bahwa pepatah itu menggambarkan keterlibatan budaya di antara persoalan-persoalan kesetiaan dalam penerjemahan dan dalam pernikahan. Untuk les belles infi déles, kesetiaan didefinisikan sebagai perjanjian yang wajib ditaati di antara terjemahan (sebagai sang wanita) dan teks asli (sebagai sang suami, ayah, atau pengarang). Namun, “standar ganda” yang berlaku di sini tidak populer seperti yang terjadi pula dalam pernikahan tradisional: istri/terjemahan yang “tidak setia” diadili di depan umum untuk kejahatan suami/teks asli yang secara hukum tidak mungkin dilakukan. Pendek kata, perjanjian ini menyebabkan teks asli tidak mungkin bersalah karena tidak setia. Sikap tersebut mengungkapkan kegelisahan nyata tentang persoalan paternity (peran atau status pria sebagai ayah) dan penerjemahan. Perjanjian ini mencontoh sistem kekerabatan patrilineal yang menentukan garis keturunan berdasarkan status ayah – bukan status ibu.
Penerjemah Kontekstual
Penerjemah Kontekstual: Cara lain untuk memperluas pepatah terkenal Gilles Menage tentang les belles infidéles ialah bahwa terjemahan tidak harus cantik dan setia, tetapi sebaliknya, semakin cantik suatu terjemahan, besar kemungkinannya terjemahan itu semakin tidak setia, dan semakin setia terjemahan semakin besar kemungkinannya semakin tidak cantik.
(a) Bagaimana sebenarnya Anda mempercayai pepatah tentang wanita ini? Apakah wanita-wanita yang cantik benar-benar lebih besar kemungkinannya untuk mengkhianati pasangannya dibandingkan wanita yang kurang cantik? Apapun jawaban Anda (ya atau tidak), apakah pengalaman Anda membuktikan opini Anda, atau apakah Anda menyetujui pepatah ini sebagian besar karena kebanyakan orang mempercayainya? Apa stereotip lain yang Anda (atau kebudayaan Anda) punya mengenai wanita cantik? Apakah mereka dihormati, dicemooh, dipuja, dicintai, ditakuti, atau dibenci? Apa sifat-sifat lain pada diri seorang wanita yang akan menentukan dirinya setia atau tidak setia?
(b) Apakah pepatah itu berlaku sama pada pria? Apakah pria yang tampan relatif lebih mungkin setia pada pasangannya daripada pria yang kurang tampan? Atau apakah wajah tidak ada hubungannya dengan kesetiaan? Apa stereotip lain yang Anda (atau kebudayaan Anda) miliki tentang pria tampan? Apakah mereka ambisius, memuji diri sendiri, picik, senang menguasai, pasif, periang, sukses, kaya? Sifat-sifat lain apa pada diri seorang pria yang akan menentukan dirinya setia atau tidak setia?
(c) Tempatkan diri Anda pada posisi seseorang yang khawatir pasangannya (suami, istri atau kekasih) tidak setia. Bagaimana reaksi Anda? Cemburukah Anda? Emosi apa yang membakar kecemburuan Anda? Posesif Kah Anda? Inginkah Anda menguasai orang lain? Apakah Anda berusaha berpikiran terbuka dan toleran? Bagaimana rasanya perasaan tersebut?
Baca Juga : Dilema Penerjemah Menurut A. S. Way
(d) Sekarang pindahkan semua ini ke dalam terjemahan. Apakah artinya berpikir dengan cara yang sama untuk penerjemahan? Bagian mana dari reaksi emosional terhadap ke(tidak)setiaan hubungan yang berhasil jika diterapkan pada penerjemahan, mana yang tidak? Bagaimana stereotip kebudayaan tentang wanita bisa sesuai dengan ‘kesetiaan’ dalam teori penerjemahan? Apa yang terjadi jika Anda menganggap terjemahan ibarat pria setia atau tidak setia, atau seperti pria tampan atau buruk rupa? Apa peran emosi-emosi seperti cemburu, posesif, atau toleransi dan berpikiran terbuka dalam pemikiran budaya tentang penerjemahan?
(e) Catatan Chamberlain mengenai metaforik gender penerjemahan didasarkan pada pemikiran bahwa teoritikus penerjemahan yang menyatukan terjemahan dengan wanita cantik dan tidak setia, atau setia dan buruk rupa- mendukung pengarang naskah sumber atau “ayah/suami”. Hal ini menjadi perspektif “eksternal” pada terjemahan (lihat Bab 1). Melihat metaforik gender ini, bagaimana seharusnya perspektif “internal” atau perspektif yang berorientasi pada penerjemah? Haruskah penerjemah mendukung terjemahan itu? Jika ya, haruskah seorang penerjemah wanita menerima citra negatif tentang wanita dan terjemahan yang tersirat dalam pepatah tersebut? Haruskah agar mampu mendukung wanita, menjadi seorang wanita, tunduk, dan menerima celaan, seorang penerjemah pria wajib memendam hasrat patriar kinya untuk mengendalikan? Inikah satu-satunya pilihan yang diisyaratkan kondisi Chamberlain untuk masalah ini: penerjemah mendukung ayah/suami/teks asli, sehingga menjadi seorang teoritikus yang perspektif? Apakah metafora gender ini riskan untuk penerjemah saja, atau mungkinkah metafora ini mengubah wajah politik gender dalam hal-hal yang menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru bagi kerja praktis dan citra diri profesional jasa penerjemah (Pernikahan terbuka? Biseksual?)?