Tanggung Jawab Profesi Penerjemah
Konflik seputar “kebenaran politik” yang sering kita lihat di layar kaca dan berita berita media mainstream dan media online semakin memperjelas bahwa kebanyakan penerjemah, terutama di Indonesia, dibuat kesal dan bingung oleh kecurigaan lama karena asumsi dan intuisi ini. Mereka cenderung nyaris mengkaitkannya secara sempit dengan kalangan akademisi di Universitas atau Kampus.
Dalam pergolakan kebajikan digambarkan sebagai pengikut aliran sayap-kiri. Di lain pihak, kalangan akademis dan penerjemah tersumpah Negara kita dan penerjemah non-tersumpah yang terheran-heran dengan ketidakpekaan kebanyakan kolega mereka yang sepemikiran, bertanya tanya mungkinkah kecurigaan itu pada akhirnya bukan sekadar trend Dunia Baru terlepas dari perasaan mereka yang kuat bahwa kecurigaan baru terhadap intuisi negara maju ini datang dari negara dunia-ketiga (barangkali terutama dari India dan Asia) dalam bentuk serangkaian tantangan yang semakin lama semakin vokal dan persuasif terhadap kontrol negara maju atas intuisi linguistik yang “universal” atau “manusiawi”.
Tanggung Jawab Akademisi
Panasnya perdebatan ini merupakan pertanda baik tentang betapa perkembangan kita semua sangat terikat dengan kebiasaan bahasa dan budaya kita, juga dengan jalur-jalur yang dilalui kebiasaan-kebiasaan itu untuk meneruskan intuisi dan pengalaman kita.
Melatih kembali intuisi kita tak hanya menghabiskan waktu, tetapi secara emosional juga mengguncangkan, khususnya bila kita berlatih dalam kondisi yang ragu-ragu dan kurang percaya diri. Profesional bahasa macam apa yang mengandalkan intuisinya dalam mencari nafkah, yang melatih kembali dirinya sendiri agar secara sistematis berpikir, “Jika kau kira kau paham hal ini, mungkin saja kau keliru”? Tidak ada.
Tanggung Jawab Individu Sosial
Meskipun demikian, kondisi keragu-raguan dan kurang percaya diri ini benar-benar tak jauh beda dengan kondisi tatkala penerjemah profesional memasuki profesi ini. Bahkan, tak jauh beda dengan saat kita berhadapan dengan teks sulit setiap harinya. Teks itu tidak jelas. Sekilas, makna yang tampak pada teks itu tidak mungkin benar, tetapi kita tidak mampu memikirkan kemungkinan makna lainnya. Kita duduk disana memandangi bagian yang bermasalah itu, merasa frustasi, gelisah, agak-agak benci pada si pengarang karena membuat pekerjaan kita menjadi begitu sulit, sedikit membenci diri kita sendiri karena tidak tahu lebih banyak, tidak lebih kreatif, dll. Perasaan ini sudah terlalu-umum bagi para penerjemah.
Maka, dalam hal ini, amarah terhadap “kebenaran politik” mungkin lebih dari kejengkelan serupa: kenapa saya harus membuat pekerjaan saya yang memang sudah sulit itu, menjadi kian sulit?
Paling tidak, ada dua jawaban untuk persoalan ini. Salah satunya, jika komunitas profesional menghendaki Anda untuk membuat pekerjaan yang sebenarnya sudah sulit itu menjadi kian sulit, maka, Anda harus maju terus dan membuat pekerjaan itu lebih sulit agar pekerjaan Anda terselesaikan dengan baik.
Jawaban lain, jika Anda peka terhadap perasaan orang lain dan golongan lain, Anda tidak akan dengan sengaja mempergunakan bahasa yang menyinggung mereka, atau dengan gembira menentukan asumsi Anda tentang apa yang pasti mereka maksudkan dengan ucapan-ucapan mereka; oleh sebab itu, lagi-lagi Anda akan maju terus dan membuat pekerjaan Anda lebih sulit agar pekerjaan Anda bisa terselesaikan dengan baik.
Kegelisahan Profesi
Tulisan ini hanya curhatan yang ditulis dengan bahasa tidak begitu jelas, supaya dapat direnungkan apa sebenarnya yang terjadi dalam diri penerjemah. Penulis adalah penerjemah median online internasional yang terbit padi dan sore. Tiap kali membaca dan menerjemahkan berita politik seolah-olah ingin berteriak kencang, sebuah penggambaran ekspresi sikap jengkel terhadap beberapa orang.
0 Komentar